Krisis Iklim yang Berdampak pada Pangan Lokal di Lembata
- Krisis iklim yang terjadi berdampak pada pangan lokal di Lembata, Nusa Tenggara Timur.
- Tanaman padi masyarakat gagal panen akibat kondisi cuaca yang berubah. Sejak 2017, warga Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, antusias menanam sorgum, sebagai bahan pangan, selain padi dan jagung.
- Perubahan curah hujan membuat petani harus menyesuaikan jadwal tanam. Awalnya Oktober kini bergeser Desember.
- Laporan kajian baseline perubahan iklim di Kabupaten Lembata oleh Koalisi Pangan Baik dibawah program Voice for Just Climate Action [VCA] menyebutkan, sebagian besar wilayah di Kabupaten Lembata memiliki curah hujan tergolong menengah, yakni 51-150 mm.
Bekas pohon sorgum terlihat mengering di antara jambu mete [Anacardium occidentale] di atas Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, NTT. Desa ini dihuni 114 kepala keluarga [KK] yang sebanyak 102 KK merupakan petani.
Ditemani Hendrikus Bua Kilok [26] dan Ambrosia Ero [42], warga setempat, kami keliling kebun tersebut, Rabu [1/11/2023].
Hendrikus mengatakan, biasanya Oktober sudah turun hujan, Namun, hingga awal November cuaca masih panas.
“Kami mulai membersihkan lahan dan siap menanam saat hujan turun,” tuturnya.
Sorgum bisa ditanam di lahan yang sudah ada pohon mete.
“Satu hektar sorgum bisa panen hingga 1,8 ton, tapi di tempat kami hanya menghasilkan 300 kg. Ini juga dikarenakan jarak tanam yang tidak seragam, dikarenakan ada batu ukuran besar,” terangnya.
Pangan lokal
Gabriel Belemek Tobil [86], mengakui tanaman padinya gagal panen akibat kondisi cuaca yang berubah. Sejak 2017, warga Tapobali juga antusias menanam sorgum, sebagai bahan pangan, selain padi dan jagung.
“Sorgum lebih tahan cuaca ekstrem dan jarang gagal panen,” ucapnya.
Namaun begitu, menurut Andika, petani sorgum, hujan lebat dapat membuat daya tumbuh sorgum berkurang karena benihnya membusuk.
“Kami panen sorgum dua kali. Harus cermat membaca iklim dan merubah pola tanam,” jelasnya.
Brian Benedicto, Riset dan Pengelola Pengetahuan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka [Yaspensel] menyebutkan, saat kegiatan Rembug Pangan di Lembata, warga Tapobali mengeluhkan gagal panen padi.
Adanya kelompok anak muda komunitas Gebetan, sangat membantu budidaya sorgum di Tapobali.
“Sejak 2017 sudah dikembangkan,” ucapnya.
Dia mengatakan, kondisi lahan miring dan bebatuan membuat padi sulit tumbuh, kecuali jagung.
“Warga menama sorgum di sela pohon mete sehingga pohonnya agak kerdil. Sorgum perlu cukup cahaya untuk berkembang, tidak perlu pohon pelindung,” terangnya.
Ambrosia menambahkan, bila tidak menanam pangan lokal maka warga terancam kelaparan.
“Sorgum bisa menjawab krisis pangan di desa kami,” ucapnya.
Perubahan jadwal tanam
Laporan kajian baseline perubahan iklim di Kabupaten Lembata oleh Koalisi Pangan Baik dibawah program Voice for Just Climate Action [VCA] menyebutkan, sebagian besar wilayah di Kabupaten Lembata memiliki curah hujan tergolong menengah, yakni 51-150 mm.
Imroatul Muklishoh Koordinator Koalisi Pangan Baik menjelaskan, sebelumnya musim hujan terjadi pada Oktober hingga Maret, namun saat ini bergeser menjadi November hingga April.
Pada Februari intensitas air hujan sangat tinggi, disertai angin kencang yang berpotensi menimbulkan bencana. Namun, setelah itu intensitas air hujan menurun hingga musim kemarau.
Sebanyak 85% petani Desa Tapobali mengubah jenis tanaman yang dibudidyakan. Sebelumnya, ada yang hanya menanam jagung, namun saat ini sudah menanam sorgum.
“Namun, sebanyak 15% petani masih memilih menanam jagung saja,” paparnya.
Imroatul menjelaskan, perubahan curah hujan membuat petani harus menyesuaikan jadwal tanam. Awalnya Oktober kini bergeser Desember.
“Saat ini belum ada pusat informasi terkait kondisi cuaca, sehingga petani masih menduga masa tanam yang tepat. Masyarakat Tapobali juga mengubah pola dan volume konsumsi dalam 10-15 tahun terkahir. Semula, mereka hanya mengonsumsi jagung, kacang-kacangan dan padi, sekarang terbiasa makan sorgum.”
Suhu yang meningkat juga mengakibatkan munculnya hama dan penyakit baru. Dampaknya, tanaman tidak tumbuh optimal.
“Beberapa petani memilih menggunakan pestisida kimia sebagai bentuk pengendalian hama dan penyakit,” paparnya.